Malam itu, tepat di hari ulang tahun ke-72 Mbah Nun (Emha Ainun Nadjib), jiwa ini mengembara dalam mimpi yang terasa begitu nyata. Dalam tidur, saya menyusuri jalan sunyi menuju Kadipiro - tanah yang sering mengisi ruang kerinduan meski raga belum pernah benar-benar menginjakkannya.
Sesampainya di sana, suasana Kadipiro justru terasa akrab. Di teras rumah, beberapa anggota Kiai Kanjeng sedang asyik memainkan melodi-meladi yang merdu, seolah menyambut setiap tamu dengan bahasa universal : musik. Lalu pandangan saya tertuju pada sosok yang baru saja turun dari mobil - Mbah Nun, ditemani Bu Novia Kolopaking dan Sabrang. Beliau berjalan mantap menuju rumah. Tubuhnya terlihat lebih ramping, tapi langkahnya penuh ketegaran, matanya tetap berbinar seperti api kecil yang tak pernah padam.
Dalam mimpi itu, tak ada dialog yang terucap. Hanya pertemuan pandang sebentar, cukup untuk menangkap kehangatan yang selama ini hanya saya rasakan melalui tulisan-tulisan dan video maiyahan. Yang hadir justru rasa tenang melihat semuanya berjalan baik-baik saja. Rupanya jiwa punya caranya sendiri untuk "sowan" ketika raga belum mampu.
Mungkin ini adalah kerinduan yang menjelma menjadi perjalanan batin. Atau barangkali Kadipiro bukan sekadar titik koordinat di peta, melainkan ruang pertemuan semua hati yang pernah tersentuh wejangan kearifan. Mimpi ini mengingatkan saya bahwa jarak fisik tak pernah jadi penghalang untuk tetap hadir dalam doa dan ingatan. Detail Mbah Nun yang baru pulang checkup mungkin adalah manifestasi harapan agar beliau dan keluarga senantiasa diberi kesehatan, sementara musik Kiai Kanjeng di teras adalah simbol kerinduan akan suasana kebersamaan yang hangat.
Simak tafsir filosofis mimpi ini beserta pesan tapa brata dari Bu Novia di Padhangmbulan Jombang.
---
Langkah Sunyi ke Pelataran Kadipiro
Malam 27 Mei 2025, saat ratusan jamaah Padhangmbulan berkumpul di Mentoro, Jombang, jiwa saya justru melanglang ke Kadipiro dalam mimpi yang terasa nyata. Di sana, Mbah Nun baru saja turun dari mobil usai checkup rumah sakit, ditemani Bu Novia Kolopaking dan Sabrang Damar Panuluh. Tubuh Mbah Nun terlihat lebih ramping, tapi langkahnya tegak bak bambu yang tak patah diterjang angin. Di teras rumah, beberapa anggota Kiai Kanjeng sedang memainkan gending-gending rindu. Tak ada kata terucap, hanya senyum Bu Novia yang seolah berbisik : "Inilah cara Tuhan mempertemukan yang rindu ketika raga terhalang jarak."
---
Padhangmbulan Mentoro: Tapa Brata dan Rindu yang Disampaikan Bu Novia
Sehari sebelum mimpi ini (27 Mei 2025), di Pengajian Padhangmbulan Mentoro, Bu Novia menyampaikan dua pesan penting :
Mbah Nun sedang menjalani tapa brata : istirahat panjang, menikmati kesendirian, dan memperdalam doa.
Kerinduan Mbah Nun pada jamaah "Beliau kangen pada setiap saudara Maiyah di mana pun berada,"ujar Bu Novia.
Mimpi saya ternyata adalah jawaban batin atas pesan itu : ketika fisik Mbah Nun dalam tirakat, ruang Kadipiro justru terbuka lewat mimpi untuk menjembatani kerinduan.
---
Tafsir Mimpi : 3 Filsafat Maiyah yang Terungkap
Tubuh Ramping, Jiwa yang Tak Terkikis
Gambaran Mbah Nun yang kurus adalah simbol laku nerimo (menerima) dalam tradisi Jawa. Seperti diajarkan beliau di Bangbang Wetan :
"Ketika badan lelah, justru di situlah rohani menemukan ruangnya untuk tumbuh."
Fisik yang ringkih dalam mimpi ini mengingatkan : ketangguhan sejati ada di ketegaran batin.
2. Musik Kiai Kanjeng di Teras : Metafora Sedekah Ilmu
Suara gamelan yang mengalun dari teras adalah perlambang sedekah Maiyah - ilmu yang tetap diberikan meski sang guru dalam ujian. Ini selaras dengan pesan Bu Novia :
"Tapa brata bukan mengurung diri, tapi membuka pintu langit agar hikmah tetap mengalir."
3. Checkup Rumah Sakit & Tapa Brata: Dua Sisi Kehidupan
Mimpi ini memadukan dunia medis (checkup) dan spiritual (tapa brata), mencerminkan cara berpikir Mbah Nun :
"Dunia dan akhirat itu satu nafas. Mengurus tubuh sama mulianya dengan merawat jiwa." (Ceramah di Gambang Syafaat, 2023).
---
Magetan-Kadipiro: Jarak yang Dihubungkan Mimpi
Sebagai jamaah Maiyah dari Magetan yang belum pernah sowan fisik, mimpi ini adalah titian rindu yang menjawab kegelisahan :
Alasan Mimpi : Batin Anda merespons energi kolektif ulang tahun Mbah Nun dan doa jamaah Padhangmbulan.
Makna Personal : Seperti kisah Ustadz Fajar (Jamaah Kenduri Cinta asal Lombok) yang "disambangi" Mbah Nun dalam mimpi saat ia gagal berangkat ke Jogja, ini adalah undangan untuk tetap merawat Maiyah dalam lokalitas.
---
Doa untuk Sang Guru: Dari Magetan hingga Mentoro
Di penghujung mimpi, kudengar gemuruh doa dari Padhangmbulan Mentoro yang menyatu dengan bisik hati :
"Ya Allah, sembuhkan Mbah Nun.
Teguhkan tapabratanya sebagai jalan mendekat pada-Mu.
Bahagiakan beliau dengan kerinduan jamaah yang tersebar di bumi.
Di usia ke-72 ini, panjangkan umurnya untuk terus menjadi oase di gurun zaman..."
Dan untuk kita semua:
"Kadipiro mungkin belum kami sowani,
Tapi Maiyah telah kami tanam dalam diri."
---
Mimpi sebagai Pintu Ma'rifat
Mimpi ini mengajak kita merenungi wejangan Mbah Nun di Padhangmbulan 2024 :
"Jangan menunggu sowan ke Kadipiro untuk bertemu saya. Temui saya dalam setiap ayat kehidupan yang kau baca, dalam setiap kesulitan yang kau tafsirkan dengan sabar."
Bagi saya, Mursyid Al Fangery dari Magetan, mimpi ini adalah pengingat :
"Maiyah bukan tentang lokasi, tapi tentang ketulusan merawat kearifan di mana pun kaki berpijak."
ꦩꦴꦱ꧀ꦩꦸꦂꦰꦾꦶꦢ꧀ꦢꦴꦫꦶꦩꦴꦒꦺꦠꦴꦤ꧀
(Magetan, 29 Mei 2025)
Beberapa koleksi ceramah Mbah Nun di beberapa tempat :